Kerusuhan social dan tindakan represif dari berbagai institusi, berkali-kali menghapus fakta keanekaragaman di negeri ini. Padahal, keanekaragaman adalah fakta. Fakta kenekaragaman memang sesuatu yang dilematis. Di satu sisi, keberagaman adalah sebuah fenomena nyata yang tidak mungkin diingkari. Tapi di sisi yang lain, ada sebuah misi persatuan di bawah payung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang juga harus dijunjung tinggi.
Pluralitas masyarakat Indonesia sudah dilupakan sejak masa Orde Baru. Dan sebaliknya nilai kesatuan begitu ditonjolkan. Pemerintah saat itu sangat ketakutan dengan fenomena banyaknya ragam budaya, ideology, agama, ras, dan lain sebagainya yang terdapat dalam kultur masyarakat Indonesia. Mereka berpikir, bahwa ancaman negatif dari keragaman masyarakat Indonesia akan menghancurkan kedaulatan negeri ini, sehingga perlu tindakan represif untuk menyatukan segala aspek kehidupan berbangsa. Diadakanlah pelatihan-pelatihan kebudayaan, dengan memunculkan satu model kebudayaan nasional; juga bentuk pengajaran seragam; dibatasilah hak asasi berkeyakinan agama dengan menetapkan lima agama resmi, yang akibatnya tidak diakuinya ratusan bahkan ribuan agama rakyat Indonesia yang sangat kaya, bahkan khotbah-khotbah para khatib dan pendeta juga diseragamkan, hak berpolitik dibatasi hanya dalam satu partai, yaitu Golkar, sementara PPP dan PDI hanyalah pemanis demokrasi semu Orde Baru, sebab berkali-kali Pemilu, suara kedua partai tersebut tetap stagnan dan sangat tidak signifikan sebagai satu partai di negeri yang hanya memiliki sedikit partai; dan seterusnya. Tindakan seperti yang dilakukan Orde Baru adalah sebuah contoh tindakan yang sangat tidak manusiawi, dimana fakta keanekaragaman tidak dilihat sebagai fakta yang tidak bisa tidak harus diterima, melainkan diberangus dengan cara-cara keji.
Pada saat Orde Baru meletakkan jabatan pada tahun 1998, setelah serangkain gerakan rakyat (people power) melumpuhkan gairah pemerintahan, perayaan pluralitas atau kebaragaman memperoleh momentumnya. Berbagai ragam dan unsur masyarakat Indonesia yang selama ini dibungkam seakan memperoleh kesempatan untuk kembali menunjukkan eksistensi mereka. Tapi karena, ibarat sebuah pesta, perayaan pluralisme tersebut melampaui batas-batas kewajaran, sehingga muncullah berbagai konflik social di masyarakat Indonesia, mulai dari konflik Ambon, Sambas, Pontianak, Poso, Aceh, dan seterusnya. Bibit-bibit perpecahan seperti sebetulnya bukan semata-mata ekses dari terbukanya kran demokrasi, melainkan terutama terpupuk secara subur dan matang dalam sebuah sistem totaliter. Orde totaliter lah yang membuat bibit konflik melalui tindakan represif kepada mereka. Penegasan identitas muncul ketika ia berusaha dipendam dan ditiadakan. Orde adalah mesin pemupuk konflik antar budaya yang sangat efektif. Betul pada masa kekuasaan Orde Baru konflik sosial antar budaya itu tidak nampak secara kasat mata, tapi ia benar-benar ada dalam wadah yang tertutup.
Persoalan tentang bagaimana menghargai pluralisme dan tetap mempertahankan kesatuan tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan salah satunya. Ketahanan persatuan tidak akan terusik apabila beragam budaya dan kepentingan masyarakat terpenuhi dengan adil. Menyelesaikan konflik social bukan dengan menghilangkan satu unsure dalam masyarakat, melainkan memberikan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Persekutuan antara kesatuaan dan keanekaragaman memang agak aneh, dan penguasa harus ekstra hati-hati menyelesaiakan persoalan yang tampak secara sekilas bertolak belakang ini. Padahal kalau dicermati secara mendalam, justru persatuan dan keanekaragaman adalah dua hal yang saling mengandaikan. Persatuan tidak akan terwujud tanpa pengkuan terhadap keanekaragaman, sementara keanekaragaman tidak akan terjamin dalam suasana chaos.
Memberikan ruang yang sebebas-bebasnya kepada semua unsur dalam masyarakat adalah pilihan strategis untuk mengembangkan persatuan. Sebab hanya kebebasanlah yang menjamin terjaganya semua hak individu dan hak berbagai unsur masyarakat. Ketika kebebasan ditekan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Orde Baru, berbagai unsure masyarakat tidak memperoleh haknya sebagai masyarakat, yang mengakibatkan munculnya berbagai ketimpangan dan kecemburuan social.
Terkait masalah kebebasan, Isaiah Berlin, pemikir kelahiran Rusia, dalam buku “Four Essays on Liberty”, mengembangan dua model kebebasan yang mutlak ada dalam sebuah masyarakat ideal, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif menunjukkan hak seseorang untuk mengembangkan kebebasaannya sebebas-bebasnya. Tapi suasana kebebasan dalam sebuah masyarakat akan memperjelas batas-batas kebebasan seseorang (kebebasan negatif). Artinya eksplorasi kebebasan maksimal akan menciptakan sebuah masyarakat yang teratur, dimana semua hak terpenuhi secara adil. Kebebasan membatasi dirinya sendiri; batas kebebasan ditentukan oleh kebebasan itu sendiri; kebebesan seseorang ditasi oleh kebebasan orang lain. Pada akhirnya, sebuah masyarakt yang bebas akan memberikan pengakuan yang sebesar-besarnya kepada ragam perbedaan yang terdapat dalam masyarakat.
Sekali lagi, memecahkan persoalan keutuhan bangsa di tengah keanekaragaman unsur bangsa Indonesia bukan dengan memberangus dengan menciptakan sentralisasi yang represif, melainkan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi beregam unsure tersebut untuk tumbuh berkembang dengan subur. Kenekaragaman harus disadari oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan malah mencoba menghilangkan kesadaran tersebut.
Sumber: Saidiman Ahmad, 2007, “Persatuan dan Keanekaragaman Saling Mengandaikan”.
Sumber: http://syaharuddin.wordpress.com/2010/04/10/masalah-keragaman-dalam-masyarakat-indonesia/