Namun belakangan ini kita dengar bahwa puluhan anak jalanan berdelegasi  ke DPRD tingkat I Sumut karena mereka digusur dari terminal Amplas,  Mimbar umum, 17/10/1995. berita ini sungguh mengenaskan karena apa yang  mereka lakukan adalah sebenarnya karena factor ekonomi. Keadaan ekonomi  yang memaksa mereka harus bekerja, dan pekerjaan yang bisa mereka  lakukan untuk seusia mereka adalah sector informal.
 Penggusuran  terhadapa anak ini akan memperparah keadaan. Akan timbul masalah social  yang akan lebih besar. Anak-anak yang akan digusur akan kehilangan mata  pencaharian, sedangkan secara ekonomi, mereka harus mencari lapangan  usaha yang mampu memenuhi kebutuhannya. Bila lapangan usaha tersebut  hilang, maka meraka akan mencari lapangan usaha lain, dan bila ini tidak  didapatkan, mereka akan melakukan tindakan apa saja yang penting bagi  mereka bisa menghasilkan uang. Dan ini yang menimbulkan dampak social.  Sebab apa yang mereka lakukan sudah tidak memperhatikan norma-norma  hukum yang berlaku. Bila ini sudah terjadi  tentunya aparat keamanan akan semakin disibukkan kembali. Pencopetan,  perampokan, penodongan dan tindak criminal lainnya akan menjadi suatu  tindak pidana baru yang pelakunya adalah anak-anak di bawah umur. 
 Anak  jalanan: Dilema? Sebenarnya isltilah anak jalanan pertama kali  diperkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi  kelompok anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah tidak memiliki  ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada  kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang  berbau criminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi  sebagai anak-anak dilinguent. Istilah ini menjadi rancu ketika dicoba  digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih  memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah  hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga,  bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan  keluarga. Di Amerika Serikat juga dikenal istilah Runauay children yang  digunakan bagi anak-anak yang lari dari orang tuanya.
 Walaupun  pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif di beberapa  negara, namun pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang  bekerja dijalanan yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu  luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena  pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar  baik secara jasmnai, rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan  antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan, lingkungan kerja  dan lain sebagainya.
 Anak  jalanan ini pada umumnya bekerja pada sector informal. Phenomena  munculnya anak jalanan ini bukanlah karena adanya transformasi system  social ekonomi dan masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri atau  karena proses industrialisasi. Phenomena ini muncul dalam bentuk yang  sangat eksploratif bersama dengan adanya transformasi social ekonomi  masyarakat industrialsasi menuju masyarakat yang kapitalistik.
 Kaum  marjinal ini selanjutnya mengalami distorsi nilai, diantaranta nilai  tentang anak. Anak, dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai beban,  tetapi sekaligus dipandang sebagai factor ekonomi yang bisa dipakai  untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, nilai anak  dalam pandangan orang tua atau keluarga tidak lagi dilihat dalam  kacamata pendidikan, tetapi dalam kepentingan ekonomi. Sementara itu,  nilai pendidikan dan kasih saying semakin menurun. Anak dimotivasi untuk  bekerja dan menghasilkan uang.
 Dalam  konteks permasalahan anak jalanan, masalah kemiskinan dianggap sebagai  penyebab utama timbalnya anak jalanan ini. Hal ini dapat ditemukan dari  latar belakang geografis, social ekonomi anak yang memang datang dari  daerah-daerah dan keluarga miskin di pedesaan maupun kantong kumuh  perkotaan. Namun, mengapa mereka tetap bertahan, dan terus saja  berdatangan sejalan dengan pesatnya laju pembangunan?
 Ada  banyak teori yang bisa menejlaskan kontradiksi-kontradiksi antara  pembangunan dan keadilan-pemerataan, desa dan kota, kutub besar dan  kutub kecil, sehingga lebih jauh bia terpetakan lebih jela persoalan hak  asasi anak. Meskipun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya factor  penyebab timbulnya masalah anak jalanan. Dengan demikian, adanya  sementara anggapan bahwa masalah anak jalanan akan hilang dengan  sendirinya bila permasalahan kemiskinan ini telah dapat diatasi,  merupakan pandangan keliru. 
Strategi dan penanggulangannya
 Kasus-kasus  penggusuran , pelarangan, penangkapan, pemukulan yang menimpa anak-anak  jalanan juga menjadi bukti bagaimana pembangunan memenangkan struktur  formal yang bermodal dan mampu membayar pajak kepada negara, sehingga  public space of economy dikuasai dan dimonopoli oleh struktur formal.  Selain itu formalisasi juga ditampilkan melalui praktek-praktek yang  sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan hanya akan berjalan  akibat kontribusi sector formal. Sementara sector informal, dimana  anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang, sekali lagi dianggap sebagai  sesuatu yang tidak menguntungkan. Potret pembangunan memang  deskriminatif dalam memberlakukan sector informal, baik karena logika  ekonomi yang dianut maupun karena legitimasi nilai formal yang  melatarinya. Ada banyak perangkat nilai, norma ataupun hokum yang selalu  digunakan untuk mencari pembenaran terhadap tindakan itu, Bisa Perda,  Program Kebersihan dan ketetiban, peraturan penertiban, atau nilai-nilai  social diskriminatif lainnya. Hukum-hukum tersebut tidak mampu dihadapi  oleh bocah-bocah kecil yang tidak mempunyai kekuasaan. 
 Dari  urutan di atas dapat dilihat betapa kompleksnya masalah anak jalanan  ini sehingga penanggulan anak jalanan ini tidak hanya dapat dilakukan  secara efektif bila semua pihak tidak ikut melakukannya seperti  pemerintah, LSM, masa media, individu-individu dan organisasi-organisasi  keagamaan.
  Penanggulangan  ini dapat dilakukan dengan pertama: melalui proram aksi langsung.  Program ini biasanya ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu para  anak jalanan, misalnya saja memberikan pendidikan non-formal,  peningkatan pendapatan keluarga, pelayanan kesehata. Tipe pekerjaan ini  biasanya yang dilakukan oleh LSM-LSM. Kedua adalah program peningkatan  kesadaran masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat  untuk mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan  ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, iklan layanan  masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Penutup
 Masalah  anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah  kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak  saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang  perduli permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang  komprehensi dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila  dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara berbagai  pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.
 Khusus  mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja  juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya  peraturan dan perundang-undangan yang mengatur masalah ini.
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/23/anak-jalanan-dan-masalah-sosial-ahmad-sofian-pkpa/